Cerpen: Kebahagiaan Ayah
Aku melihat kesedihan yang dalam dari matanya. Matanya yang dulu tegar kini seakan rapuh. Serapuh pelepah kurma yang sudah berumur puluhan tahun. Aku mendekapnya guna menyampaikan bahwa ia tidak sendirian. Kami akan terus ada di sampingnya sampai kapanpun.Ia segera mengemas kesedihannya juga mengokohkan kerapuhannya.
“Ayah tidak apa-apa!” Suara lirihnya berusaha ia masukkan ke telingaku. Mencoba memberikan kabar. Bahwa Ia cukup tegar dan ikhlas atas kepergian Ibu.
Tentu saja aku tidak percaya. Matanya tetap menggambarkan betapa sedih dan rapuh dirinya.
Kini, sudah dua tahun Ibu meninggalkan kami. Pergi tanpa pesan sedikit pun. Hanya air mata terakhir yang ia perlihatkan. Entah, itu merupakan pesan terakhir atau hanya tanda perpisahan. Perpisahan terhadap kami yang mencintainya, dan juga perpisahan terhadap penyakit yang bertahun-tahun ia derita.
Waktu yang membuat aku, kakakku dan juga adikku lambat laun mengikis kesedihan yang kami derita. Hari-hari bahagia. Aktivitas. Rutinitas yang juga membantu kami mengikis kesedihan dua tahun lalu. Kakkaku telah dipersunting oleh pria pujaan hatinya dan menetap di Semarang. Sementara aku dan Adikku telah bekerja. Terjejali dengan rutinitas dan pekerjaan yang tak pernah ada habisnya.
Bagiku, rumah kini hanya menjadi tempat untuk beristirahat dan memejamkan mata. Kutinggalkan pagi-pagi sekali. Datang pun saat larut malam. Tanpa pernah memikirkan keadaannya. Bagaimana kondisinya? Bagaimana situasinya? Terlebih adikku, Ia hanya kembali ke rumah satu hari dalam dua minggu. Ia haruslah terbang dari satu kota ke kota lainnya. Melakoni perannya sebagai pramugari maskapai penerbangan domestik yang sedang berkembang.
Kami senang dengan pekerjaan masing-masing. Sehingga kami tidak pernah merasakan kesedihan yang dua tahun lalu kami rasakan. Kini kesedihan pun telah dikikis oleh waktu dan rutinitas pekerjaan kami.
Tapi, bagaimana dengan nasib Ayahku? Pria yang sudah tidak muda lagi. Namun, Ia juga masih tetap semangat menjalani hidupnya. Menjalani bisnisnya. Kulihat kobaran semangatnya terus menyala menyamai kobaran semangat anak-anaknya yang masih muda. Optimis! Sangat optimis! Seakan ia ingin menyimpan kesedihan dua tahun lalu dan menguburnya dalam-dalam.
Hingga pada suatu saat… Di forum keluarga, Ia mengenalkan seorang wanita yang lebih muda darinya namun lebih tua dari adikku. Ia mengenalkan wanita itu kepada kami dan membuka pembicaraan tentang pernikahan. Ia membicarakannya dengan nada bicara yang sangat hati-hati. Seolah ia tidak ingin menyakiti hati kami dengan rencana pernikahannya dengan wanita itu.
Tapi terlambat, aku yang sejak tadi tak melepas tatapan sinis dari mata wanita itu. langsung menolak dengan keras rencana tersebut.
“Kuburan Ibu masih basah. Yah! Aku gak setuju Ayah menikah lagi!” Aku benar-benar menolak pernikahan tersebut. Aku tidak ingin Ayah menikah lagi. Baik dengan wanita itu ataupun dengan wanita lainnya.
Wajah ayah tampak mendengar tolakkan keras dariku. Dia lesu. Bagai anak-anak yang kehilangan cita-citanya. Pucat.
“Ayah ngerti perasaan kalian, tapi…” Jawab Ayah lirih. Kemudian berhenti sejenak.
“Tapi apa, Yah?” Serangku. “Yang jelas, kami tidak setuju kalau Ayah menikah lagi! Titik!” Sambung ku sambil keluar dari rumah sekaligus pergi meninggalkan Ayah dan juga saudara-saudaraku.
Pikiranku penat. Kacau. Ku benci Ayah! Aku muak dengan wanita itu. Aku pun juga muak dengan keadaan ini! Ingin rasanya aku menceburkan tubuhku di laut dan tenggelam melupakan ‘ide gila’ ayah.
Dalam pikiran yang kacau ini. Aku memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Aku memutuskan untuk menginap di kamar kost teman sekantorku yang tidak jauh dari kantor.
Tak terasa sudah sebulan. Sejak kejadian yang terjadi di forum keluarga sebulan yang lalu. Aku tidak pernah pulang ke rumah. Aku menempati kamar kost bersama teman sekantorku. Ya, sejak kejadian itu aku memutuskan untuk kost bersama temanku. Tidak pulang ke rumah. Rasa sakit ini masih membayangiku. Tentang ‘ide gila’ ayahku. Tentang wanita yang membuatku membenci ayah. Rasanya terus membayangi dan membekas jelas dalam ingatanku. Nomor di Handphone pun ku ganti dengan yang baru. Dengan harapan keluargaku tidak dapat menghubungiku lagi untuk menyuruhku pulang.
Layaknya setiap pagi yang kulalui. Aku berangkat ke kantor. Setiba di kantor, Resepsionis menyapaku dengan ramah. Sambil memberikan sepucuk surat beramplop ‘airmail’. Kuterima surat itu sambil bertanya-tanya siapa gerangan pengirim surat ini. Tidak biasanya aku mendapatkan sebuah surat. Mungkin ini penting!
Setelah sampai di ruang kerjaku. Kusempatkan dulu untuk membaca surat tadi. Aku terkejut ternyata surat itu dikirim oleh adikku. Aku hafal betul tulisan tangannya. Kubaca kalimat demi kalimat dari isi surat tersebut. Alangkah paniknya aku. Ketika di surat itu adikku mengabarkan bahwa Ayah sedang sakit keras. Terkena serangan jantung. Kini menderita stroke.
Saat itu juga, aku langsung meninggalkan kantor dan pulang ke rumah. Menemui ayah.
Kubuka pintu rumah, dan kudapati ayah sedang duduk di kursi roda dengan wajah yang separuh kaku. Getir. Aku menghela nafas. Aku menghampiri dan memeluk erat tubuh ayah yang kini hanya berbobot kurang dari setengah bobot tubuhnya sebulan lalu, saat aku meninggalkan rumah. “Yah, Aku pulang… maafkan aku.” Tangisku pecah sambil terus memeluk tubuh ayah. Ayah tak bisa menjawab. Ia hanya bisa meneteskan air mata yang keluar dari salah satu matanya yang penuh kerutan.
“Bang…” Suara adikku memanggilku. Sambil memberikan selembar kertas kepadaku. Ku bentangkan kertas itu. Aku tidak mengenali tulisan tangan siapa ini. Tulisan tangan seperti tulisan tangan anak kecil yang apabila dari isinya, ku yakin bukan anak kecil yang menulisnya.
“Ayah mencoba menulisnya saat ia sudah terkena stroke, bang.” Adikku berbicara padaku.
Ku berlutut di kaki ayah setelah membaca tulisan di kertas tersebut. Memohon maaf atas segala kesalahan ku yang telah menyakiti hatinya.
Kertas itu bertuliskan: Kebahagiaan ku bukan bersama wanita itu. Kebahagiaanku adalah ketika aku sakit bukan anakku yang pusing untuk merawatku.
sumber : http://denikurniawan.wordpress.com/2012/04/26/cerpen-kebahagiaan-ayah/.
0 komentar:
Posting Komentar